Jumat, 11 September 2009

Kashmir



DENGAN sedih Iqbal, penyair Payam-i-Mashriq, menulis tentang Kashmir, tanah para penenun sutra di utara India yang bergunung-gunung: "Di dingin yang getir musim salju, tubuhnya gemetar, sementara dengan terampil ia selimuti tubuh si kaya dengan syal kerajaan."

Ia memang melihat kontradiksi di negeri yang sering disebut "Firdaus" itu, ketika ia berkunjung ke sana pada tahun 1921.

Statistik mencatat 96 persen penduduk Jammu dan Kashmir miskin dan terkebelakang. Mereka muslim. Hanya 0,8 persen dari mereka yang melek huruf. Yang bertakhta adalah Maharaja yang Hindu, yang menyukai lomba kuda di atas segalanya. Seperti di bagian India lain, di sini pun orang muslim jarang beroleh pendidikan modern. Mereka menampik, atau ditampik, modernitas. Akhirnya mereka tak siap memasuki sebuah dunia yang arahnya apa-boleh-buat dibentuk oleh modernitas itu. "Barat", yang mereka coba kalahkan, mengalahkan mereka.

Di subbenua India, kekalahan ini bergabung dengan posisi mereka sebagai bagian kecil penduduk. Dalam jumlah dan dalam mutu mereka sulit menandingi warga yang bukan muslim, yang lebih siap untuk memimpin India yang memasuki abad ke-20. Iqbal mungkin telah melihat itu. Masygul akan nasib kaumnya, ia datang dengan sebuah ide: kelak, kata sang pujangga, harus ada sebuah negara tersendiri bagi orang Islam di India.

Tapi tak semua orang Islam di India sependirian. Pada tahun 1924, seorang muda Kashmir bernama Abdullah menemuinya di Lahore. Ia sangat terkesan bahwa sang pujangga bersimpati kepadanya. Tapi memang Abdullah—yang kelak dikenal sebagai Sher-i-Kashmir ("Singa dari Kashmir")—menunjukkan energi dan kecerdasan yang luar biasa. Ia berasal dari keluarga pedagang kecil, tapi ia berhasil mendapatkan pendidikan yang umumnya tak terbuka bagi kelasnya. Abdullah belajar di sebuah sekolah tinggi bercorak Barat di Aligrah, dekat Delhi. Pada tahun 1930 ia kembali ke Kashmir. Ia membentuk sebuah grup diskusi bersama dengan para alumni Aligrah, dan terlibat dalam politik.

Pada tahun 1931 sebuah peristiwa meledak. Maharaja Kashmir memberangus sebuah demonstrasi protes warga Islam. Dua puluh dua orang mati ditembak. Kerusuhan pun meluas. Represi menyusul. Abdullah dipenjarakan. Ia kemudian memimpin gerakan oposisi. Untuk itu ia mendapat dukungan dari Nehru dan para pemimpin gerakan kemerdekaan India lain yang berhimpun dalam Partai Kongres di masa menghadapi kolonialisme Inggris. Kedekatan Abdullah dengan Nehru mulai di hari itu.

Sebenarnya Abdullah merasa Partai Kongres tak se-penuhnya kebal terhadap sektarianisme Hindu. Ia paham kenapa Pakistan harus berdiri. Tapi baginya, Kashmir bukan Pakistan. Di Kashmir orang tak menghendaki agama jadi penggerak identitas politik. Abdullah ingin Kashmir merdeka, sebuah negeri tersendiri.

Tapi akhirnya ia tak melaksanakan cita-cita itu. Ia malah mendukung integrasi Kashmir ke India, ketika perang meletus antara Pakistan dan India di akhir tahun 1947 memperebutkan sang Firdaus. PBB akhirnya memaksakan gencatan senjata. Pada tahun 1948, sebuah garis perbatasan yang disebut Line of Control (LOC) ditarik: sepertiga wilayah di bawah Pakistan, dua pertiga di bawah India.

Dalam kondisi itu, Abdullah jadi perdana menteri negara bagian India yang baru: Kashmir. Itu sebabnya sang Singa pernah dianggap telah jadi ayam sayur: ia dituduh "pengkhianat" oleh mereka yang ingin agar India harus pergi.

Tapi Abdullah, seperti Kashmir, adalah diri yang terbelah. Pada tahun 1953, ia berangkat ke luar negeri dan bertemu dengan Chou En-Lai, pemimpin Cina. Melihat kelancangan itu New Delhi marah. Paspor Abdullah dicabut. Sepulangnya, ia ditahan di sebuah tempat di Tamil Nadu. Pemerintah pusat curiga bahwa Sher-i-Kashmir mulai menggerakkan rakyat kembali ke arah "separatisme".

Abdullah wafat pada tahun 1982, dalam usia 77 tahun. Rakyat tak pernah melupakannya. Kashmir tak jadi diam. Negeri indah yang jadi tempat tetirah orang-orang kaya India itu kian merasa hanya jadi pelengkap penderita. Kian banyak tercatat perilaku brutal tentara India, kian banyak kemarahan meletup. Orang mulai lebih sengit berteriak "merdeka", dan menembak—atas nama sebuah bangsa yang memerlukan negeri baru.

Masih perlukah sebenarnya lahir sebuah negara-bangsa lagi di abad ini? Kashmir bisa menjawab "ya" tapi juga bisa menjawab "tidak", justru karena ia di tengah realitas yang sama: ia diapit oleh dua cita-cita politik yang luhur tapi terputus.

Pakistan, yang dimimpikan Iqbal, lahir dengan "nilai-nilai Islam" yang dianggap ulung. Tapi prestasi negeri ini tak setara India (yang bukan "Islam") dalam tekonologi, seni, sastra, ekonomi, kematangan lembaga politik, dan hak-hak asasi. Pakistan memang berhasil membangun persenjataan nuklir, tapi bukan demokrasi.

India, juga sebuah kekuatan nuklir, bisa punya sebuah demokrasi. Tapi sesuatu telah dikhianati. Di Gujarat, Februari yang lalu orang Islam dibunuhi, makam dan masjid mereka diduduki, dan rumah mereka dibakar. Di hadapan kejahatan kaum militan Hindu itu, pemerintah India di bawah Perdana Menteri Behari Vajpayee enggan bertindak. India yang dulu dicita-citakan Gandhi dan Nehru—sebuah India yang tak memihak agama apa pun—ternyata berubah. Kini kaum fundamentalis Hindu dipilih rakyat, dan mereka berkuasa, seraya para pendukungnya menyiram minyak tanah ke dalam konflik, menyebarkan kebencian, intoleransi, pembinasaan.

Pada tahun 1920-an Iqbal pernah menulis dengan sedih tentang Kashmir. Seandainya ia masih hidup, mungkin ia juga akan menuliskan sajak-sajak sesal: tentang Pakistan, India, tentang gagasan "dua-negara" yang dulu dikumandangkannya sendiri.

- 17 Juni 2002


Sumber :

Goenawan Mohamad

http://www.tempointeraktif.com/hg/caping/2002/06/17/mbm.20020617.CTP120171.id.html

11 September 2009

Sumber Gambar:

http://moinansari.files.wordpress.com/2008/02/pakistan-map4.jpg

http://www.mapsofindia.com/maps/jammuandkashmir/jammuandkashmir-district-map.gif

http://moinansari.files.wordpress.com/2008/02/pakistan-map4.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar