Kamis, 10 September 2009

Albania Bujuk OKI Internasionalisasi Masalah Kosovo



Ternyata usaha kelompok separatis yang berada di suatu negara berdaulat untuk mendapatkan dukungan internasional dalam rangka memerdekakan dirinya, ternyata bukan saja terjadi dalam kasus Aceh atau Papua saja. Di kawasan Eropa pun, masalah serupa ternyata tidak kalah runyamnya. Salah satunya, adalah masalah Kosovo yang bermaksud memerdekakan diri dari Serbia, yang dulunya menguasai sebuah wilayah yang mencakup negara-bangsa bernama Yugoslavia.

28 Oktober lalu, terjadi pertemuan antara Perdana Menteri Mesir A. Abulgeit dan Perdana Menteri Albania S Berish di Kairo, Ibukota Mesir. Dalam pertemuan tersebut Berish meminta Abulgeit agar Kairo yang dikenal memiliki wibawa besar di kalangan Negara-Negara peserta Organisasi Konferensi Islam (OKI), untuk memprakarsai diselenggarakannya Konferensi internasional membahas masalah Kosovo. Tentu saja di balik gagasan Perdana Menteri Albania ini sudah bisa dibaca sejak awal, yaitu menggalang dukungan negara-negara Islam baik dari Timur Tengah maupun Asia-Pasifik. Kalau mau jujur, Perdana Menteri Albania nampaknya berharap betul negara-negara Arab akan cukup antusias untuk mensponsori diadakannya konferensi mendukung kemerdekaan Kosovo lepas dari Serbia.

Dalam perspektif kita sebagai bangsa Indonesia, yang kerap menghadapi masalah serupa, tentu saja manuver Perdana Menteri Albania tidak bisa kita terima. Bayangkan saja jika tiba-tiba Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam atau Gubernur Papua, tiba-tiba bikin manuver melobi kelompok-kelompok strategis di dunia internasional. Apa pemerintah kita tidak dibuat runyam?

Sekadar informasi, dulunya Yugoslavia ketika masih berada di dalam kekuasaan pemerintahan Joseph Broz Tito, negara ini mencakup Slovenia, Kroasia, Bosnia-Herzegovina, Macedonia, dan Motenegro. Sekarang, yang tersisa tinggal Republik Sosialis Serbia, yang antara lain menaungi daerah otonomi Kosovo.

Dari segi etnis, Kosovo yang berpenduduk 2 juta jiwa tersebut, ternyata didominasi oleh etnis Albania yang menguasai 92 persen penduduk. Sedangkan Serbia sendiri hanya 4 persen, Bosnia dan Goran 2 persen, Romawi 1 persen, dan Turki 1 persen. Uniknya, mayoritas penduduk Kosovo beragama Islam.

Dari sisi sepak-terjang Serbia di masa lalu, memang harus diakui Kosovo yang didominasi oleh etnik Albania merasa kurang begitu nyaman. Perlakuan kejam dari pemerintahan Serbia memang dipandangn sebagai pemicu utama gerakan separatis Albania di Kosovo untuk memerdekakan diri. Dan sejak 1999, sebenarnya masalah sudah berada di tangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sehingga masalah Kosovo yang sudah terlanjur beraroma separatisme seharusnya sudah melibatkan PBB sebagai perantara internasional dengan mengacu pada mekanisme dan aturan main di dalam PBB itu sendiri.

Sehingga adanya manuver Perdana Menteri Albania membujuk Perdana Menteri Mesir, sebenarnya justru merupakan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dan norma-norma hukum internasional maupun etika berdiplomasi. Kalau sudah berada di tangan PBB, dan ini pada 1999 justru atas desakan dari Amerika Serikat dan negara-negara yang tergabung dalam NATO(North Atlantic Treaty Organization), lalu apa perlunya Perdana Menteri Albania melibatkan sebuah fora internasional bernama OKI?

Disamping bisa menjadi preseden buruk bagi forum multilateral dan hilangnya wibawa PBB, pada saat yang sama hal ini bisa memberi contoh kepada beberapa elit politik lokal untuk beramai-ramai menginternasionalisasi isu kemerdekaan wilayah, daerah dan kelompok sukunya.

Di Indonesia yang rawan tentu saja adalah Nanggoroe Aceh Darussalam, dan Papua. Belum lagi kemungkinan beberapa daerah lain yang berpotensi serupa seperti Maluku dan Riau. Sedangka di Irak, kalau manuver Perdana Menteri Albania ini berhasil membujuk Mesir menginternasionalisasi kasus Kosovo, bukan tidak mungkin akan memicu suku Kurdi di Irak untuk melakukan manuver di tingkat internasional meminta dukungan kemerdekaan Kurdi sebagai negara sendiri. Belum lagi kasus serupa yang bisa menimpa Suriah dan Turki yang punya beberapa suku yang sebenarnya berpotensi untuk meminta kemerdekaan wilayah dan sukunya.

Bahkan pada skala dunia internasional, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kasus Kosovo ini bisa memicu perang dunia ketiga. Betapa tidak. Sebelum meletusnya Perang Dunia I, di Serajevo ibukota Bosnia-Herzegovina, pernah menjadi casus beli atau penyebab meletusnya Perang Dunia I gara-gara terbunuhnya Pangeran Franz Yosef.

Sekarang, hal serupa bukannya tidak mungkin akan terjadi. Karena kalau sampai Kosovo menjadi negara merdeka, bisa dipastikan ini hanya menguntungkan bagi Amerika Serikat dan sekutunya di Eropa Barat. Sedangkan negara-negara di Eropa Timur, termasuk Rusia, praktis tidak diuntungkan sama sekali.

Amerika Serikat dan The Kosovo Connection

Mengapa manuver menginternasionalisasi kasus Kosovo ini jadi sedemikian penting dan mencemaskan bagi Indonesia? Mari kita mulai dengan fakta berikut ini. Martti Ahtisaari, mantan Presiden Finlandia dan pemrakarsa perundingan Pernjanjian Helsinki untuk solusi Aceh, ternyata sekarang menjadi Utusan Khusus Sekjen PBB untuk proses penentuan masa depan Kosovo. Dan agendanya jelas, membantu memerdekakan Kosovo dari tangan Serbia.

Dalam kasus yang berkaitan dengan mendukung manuver menginternasionalisasi Papua melalui referendum, tercatat ada beberapa anggota Kongres Amerika yang merupakan pendukung utamanya. Antara lain Eni Faleomavaega dari negara bagian Samoa, Donald Payne dari negara bagian New Jersey, David Drier dari negara bagian California, dan James Moran dari negara bagian Virginia.

Fakta bahwa beberapa anggota Konges ini punya kaitan erat dengan Martti Ahtisaari, maka bukan tidak mungkin mereka ini pula yang memainkan skenario mendesak adanya tindakan unilateral untuk melakukan intervensi internasional di Kosovo lewat diadakannya referendum.

Memang, beberapa lembaga internasional pendukung separatisme memang lagi marak di dunia internasional. Sebut saja misalnya International Human Right Campaign dari Inggris, East Timor Action Network dan Robert Kennedy Memorial Center, keduanya dari Amerika Serikat. Bahkan di Amerika ada juga yang bernam Indonesian-Chinese-American Network. Di Australia ada yang namanya International Column for Indonesian Development dan In-fight Indonesia. Salah satu pentolannya di Australia adalah Richard Cauvel dari Asian Focus Group. Dari Norwegia adalah Still Freedom, dari Swiss adalah Internatioanl Commission of Jurist, dan dari Belgia adalah International Crisis Group yang cukup terkenal di Indonesia.

Bahkan Departemen Luar Negeri Amerika pun punya beberapa lembaga outsourcing yang dikontrak khusus menangani penyusunan dan penyiapan agenda internasionalisasi kasus-kasus separatisme di Asia dan Eropa. Seperti East-West Center yang berada di Washington, Hendry Dunant Center yang berbasis di Jenewa, Nordic Institute for Asian Studies, berbasis di Finlandia, Asian Focus Group di Australia, Olaf Palem International Center di Norwegia, Australian Solidarity with Asia Pacific dan Diplomacy Training Program, keduanya berbasis di Australia.

Begitu banyaknya lembaga-lembaga advokasi pendukung separatisme di mancanegara, tak heran jika internasionalisasi masalah separatisme semakin berani dilancarkan oleh berbagai kelompok pro kemerdekaan baik di Asia maupun di Eropa. Kalaupun tidak dengan tujuan strategis tercapainya kemerdekaan sebagai negara sendiri, paling tidak mereka bisa memanfaatkan dana-dana bantuan internasional untuk kepentingan dan tujuan jangka pendek. - 5 Desember 2007

Sumber :
Hendrajit
Penulis adalah Direktur Eksekutif Global Future Institute(GFI)
11 Aeptember 2008

Sumber Gambar:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar